Sepasang calon pasutri ditanya di awal sesi pembinaan pra
nikah, “apa tujuan kalian menikah.” “Kami ingin bahagia,” jawab si calon suami dan setujui oleh calon istri dengan anggukan kepala.
Seorang gadis remaja ditanya orang tuanya, “apa tujuan kamu
berpacaran?” “Aku ingin bahagia,” jawabnya singkat.
Pertanyaan yang sama pernah saya ajukan kepada teman baik
saya sebelum dia menikah,”kenapa kamu mau menikah dengannya?” “Aku ingin
membuatnya bahagia,” berbinar matanya ketika menjawab itu.
Jawaban-jawaban di atas tidak ada yang salah karena setiap
orang ingin dan berhak bahagia. Lalu apa sih itu bahagia? Iya, BAHAGIA?!
Dulu saya mengira dengan memiliki pasangan saya bakalan
bahagia. Memang benar saya bahagia tapi saya kurang tepat menempatkan rasa
bahagia saya. Saya begitu mudah menaruh beban ke pasangan saya agar dia mampu
memberikan kebahagiaan kepada saya. Akhirnya saya mudah kecewa. Kecewa pada pasangan saya
dan diri sendiri karena bahagia itu cepat pergi. Saya-pun merasakan koq banyak gak bahagianya ketimbang bahagianya ya!
Banyak dari kita menggantungkan kebahagian kepada orang lain.
Mengira bahwa kebahagian itu bersumber dari seseorang, di luar dari diri kita.
Entah itu pasangan, orang tua, anak, keluarga, atasan, anak buah, sahabat,
bahkan teman. Ketika harapan akan kebahagian tidak kita peroleh maka kita cepat
kecewa. Ketika sikap dan perlakuan mereka tidak seperti yang kita harapkan, maka dengan mudah kita kecewa. Pertengkaranpun kadang tak terhindarkan.
Dalam proses menyembuhkan hati saya banyak belajar bahwa
selama ini saya sudah salah membebankan kebahagiaan saya kepada orang lain.
Menuntut orang-orang di sekitar saya memberikan kebahagiaan, memberikan saya
rasa senang. Kemudian menyebut
mereka menjadi penyebab ketidakbahagiaan saya. Kecewa terhadap diri sendiri dan
terutama kecewa terhadap orang-orang di sekitar saya. Mudah ngambek, gampang marah
yang berbuntut pada sakit hati yang tidak mudah sembuh. Kebahagiaan itu bukan
tanggung jawab orang lain tetapi tanggung jawab kita sendiri. Kita-lah yang
menciptakan bahagia itu. Ketika bahagia itu kita rasakan maka yakinlah itu akan
menular kepada orang lain, setidaknya orang di sekitar kita. Reaksi kita
terhadap sesuatu atau seseorang menentukan apakah kita mampu menghadairkan rasa
bahagia itu.
Saya masih ingat, suatu pagi dengan tergesa saya berangkat
ke tempat kerja. Dari awal saya sudah telat dan karena terburu-buru saya pun bertabrakan
dengan seorang ibu di halte bis. Entah siapa yang duluan nabrak. Tak ingin
perkepanjangan,saya berlalu dengan mulut maju sesenti alias cemberut. Eh…di
kantor saya harus menghadiri rapat dengan data-data yang belum saya siapkan.
Sebetulnya saya bisa menyiapkan jika saya tidak telat. Akhirnya hari itu saya
lalui dengan perasaan tidak bahagia. Kesal, sebel, marah. Semua bermula dari
saya, diri saya. Coba kalo menyikapi kejadian bertabrakan dengan ibu tersebut
sebagai akibat ketergesaan saya, maka saya tidak akan cemberut. Coba saya
dengan stay cool menyiapkan data-data untuk rapat, maka tidak ada data
yang tertinggal. Ya…semua berawal dari diri dan sikap hati kita.
Contoh lain, ketika sang pasangan terlambat menjemput. Kecewa mudah datang karena kita sudah menunggu terlalu lama.Bisa jadi pasangan terlambat menjemput karena macet yang tidak terhindar. Atau mendadak harus dipanggilan atasan sesaat ketika hendak pulang. Tanpa mau mendengar penjelasan si pasangan kita sudah marah-marah duluan. Berakhirlah kencan malam itu dengan perasaan tidak bahagia.
Jadi bahagia itu bukan kita dapat dari orang lain, tetapi
dari hati kita. Dari sikap kita terhadap semua yang terjadi dalam hidup kita.
Ehm…jadi, apakah saya sudah bahagia? Saya sedang belajar
menciptakan dari detik ke detik, dari menit ke menit, dari waktu ke waktu.
Karena memang bahagia itu perlu diciptakan dan ditumbuhkan.
#hikmat
#happiness
#relationship
#life