Jumat, 17 Januari 2020

Bahagiaku Bukan Bebanmu


Sepasang calon pasutri ditanya di awal sesi pembinaan pra nikah, “apa tujuan kalian menikah.” “Kami ingin bahagia,” jawab si calon suami dan setujui oleh calon istri dengan anggukan kepala.
Seorang gadis remaja ditanya orang tuanya, “apa tujuan kamu berpacaran?” “Aku ingin bahagia,” jawabnya singkat.
Pertanyaan yang sama pernah saya ajukan kepada teman baik saya sebelum dia menikah,”kenapa kamu mau menikah dengannya?” “Aku ingin membuatnya bahagia,” berbinar matanya ketika menjawab itu.
Jawaban-jawaban di atas tidak ada yang salah karena setiap orang ingin dan berhak bahagia. Lalu apa sih itu bahagia? Iya, BAHAGIA?!

Dulu saya mengira dengan memiliki pasangan saya bakalan bahagia. Memang benar saya bahagia tapi saya kurang tepat menempatkan rasa bahagia saya. Saya begitu mudah menaruh beban ke pasangan saya agar dia mampu memberikan kebahagiaan kepada saya. Akhirnya saya mudah kecewa. Kecewa pada pasangan saya dan diri sendiri karena bahagia itu cepat pergi. Saya-pun merasakan koq banyak gak bahagianya ketimbang bahagianya ya!

Banyak dari kita menggantungkan kebahagian kepada orang lain. Mengira bahwa kebahagian itu bersumber dari seseorang, di luar dari diri kita. Entah itu pasangan, orang tua, anak, keluarga, atasan, anak buah, sahabat, bahkan teman. Ketika harapan akan kebahagian tidak kita peroleh maka kita cepat kecewa. Ketika sikap dan perlakuan mereka tidak seperti yang kita harapkan, maka dengan mudah kita kecewa. Pertengkaranpun kadang tak terhindarkan.



Dalam proses menyembuhkan hati saya banyak belajar bahwa selama ini saya sudah salah membebankan kebahagiaan saya kepada orang lain. Menuntut orang-orang di sekitar saya memberikan kebahagiaan, memberikan saya rasa senang. Kemudian menyebut mereka menjadi penyebab ketidakbahagiaan saya. Kecewa terhadap diri sendiri dan terutama kecewa terhadap orang-orang di sekitar saya. Mudah ngambek, gampang marah yang berbuntut pada sakit hati yang tidak mudah sembuh. Kebahagiaan itu bukan tanggung jawab orang lain tetapi tanggung jawab kita sendiri. Kita-lah yang menciptakan bahagia itu. Ketika bahagia itu kita rasakan maka yakinlah itu akan menular kepada orang lain, setidaknya orang di sekitar kita. Reaksi kita terhadap sesuatu atau seseorang menentukan apakah kita mampu menghadairkan rasa bahagia itu.

Saya masih ingat, suatu pagi dengan tergesa saya berangkat ke tempat kerja. Dari awal saya sudah telat dan karena terburu-buru saya pun bertabrakan dengan seorang ibu di halte bis. Entah siapa yang duluan nabrak. Tak ingin perkepanjangan,saya berlalu dengan mulut maju sesenti alias cemberut. Eh…di kantor saya harus menghadiri rapat dengan data-data yang belum saya siapkan. Sebetulnya saya bisa menyiapkan jika saya tidak telat. Akhirnya hari itu saya lalui dengan perasaan tidak bahagia. Kesal, sebel, marah. Semua bermula dari saya, diri saya. Coba kalo menyikapi kejadian bertabrakan dengan ibu tersebut sebagai akibat ketergesaan saya, maka saya tidak akan cemberut. Coba saya dengan stay cool menyiapkan data-data untuk rapat, maka tidak ada data yang tertinggal. Ya…semua berawal dari diri dan sikap hati kita.

Contoh lain, ketika sang pasangan terlambat menjemput. Kecewa mudah datang karena kita sudah menunggu terlalu lama.Bisa jadi pasangan terlambat menjemput karena macet yang tidak terhindar. Atau mendadak harus dipanggilan atasan sesaat ketika hendak pulang. Tanpa mau mendengar penjelasan si pasangan kita sudah marah-marah duluan. Berakhirlah kencan malam itu dengan perasaan tidak bahagia.

Jadi bahagia itu bukan kita dapat dari orang lain, tetapi dari hati kita. Dari sikap kita terhadap semua yang terjadi dalam hidup kita.
Ehm…jadi, apakah saya sudah bahagia? Saya sedang belajar menciptakan dari detik ke detik, dari menit ke menit, dari waktu ke waktu. Karena memang bahagia itu perlu diciptakan dan ditumbuhkan.

#hikmat
#happiness
#relationship
#life

Sabtu, 28 Desember 2019

Sebelum 2019 Berakhir



Barusan baca quote yang menarik dari status teman di feed medsos saya siang ini. Merenungkannya dan mengaminin bahwa itu benar adanya. Begini bunyinya, “strength cannot be born from strength. It is always born from overcoming weakness.” Kemudian saya lanjutkan kira-kira demikian, “Brave does not come from brave but it is always come from overcoming fear”.

2019 hampir usai dan tanpa sadar saya tidak memberi “makanan” di blog ini selama dua tahun. Dua tahun yang berarti buat saya. Dua tahun tahun yang penuh pengalaman, gejolak, dan rasa-rasa lain. Sebelum blog ini menjadi basi karena lama tidak ditongkrongi, maka saya membuat tulisan ini di tengah mandegnya penulisan tulisan akhir akademik saya.

Kalau mau ditilik sekali lagi, dari hal-hal sederhana banyak hal yang terjadi buat saya pribadi. Banyak orang mengira saya setegar dan sekuat penampakan saya yang semakin galak (menurut seorang teman kantor). Ternyata penampilan itu menipu ya.

Masih banyak koq kelemahan dan ketakutan yang saya hadapi dan pergumulkan. Kelemahan daging untuk keluar dari zona nyaman, ketakutan akan hari tua dan kesehatan serta kondisi keuangan. Ah…bukannya semua orang juga merasakan itu? Pikir saya. Membaca lagi quote di atas seperti memberi saya tambahan ‘bensin’ agar motor diri saya tidak mandeg dan berhenti.  Saya tidak mau muluk-muluk membuat resolusi untuk tahun yang baru 2020. Terbukti resolusi saya di 2019 yang tidak muluk bisa saya jalani. Jadi saya ingin melakukan sesuatu yang sederhana tapi berdampak, ya…minimal untuk diri sendiri. Saya percaya sesuatu yang berdampak pada diri sendiri akan menular ke orang lain, minimal ke orang sekitar kita (inner circle kita).



Seperti juga saya diajari dan belajar untuk memandang segala sesuatu dari hal yang sederhana, contohnya berkat. Saya dulu memandang berkat dari Tuhan itu mesti besar, hebat, luar biasa. Eh…ternyata saya salah. Membuka mata dan diizinkan masih tetap bernafas aja itu berkat. Bisa kentut (ups maaf kalo terkesan jorok) itu juga berkat. Bisa bersendawa juga merupakan berkat.  Dengan memandang itu semua adalah berkat, maka saya belajar bersyukur untuk hal-hal yang kecil. Walau kata orang saya lebay.

Seorang pengkotbah mengatakan bahwa Tuhan sering bekerja dalam hal sederhana agar manusia mengerti dan merasa dekat dengan sang penciptanya. Tuhan juga membentuk kita dari hal-hal kecil agar kita tidak mudah ‘sakit’ karena sedang dibentuk Tuhan. Saya mengamini itu karena saya tidak sedang hidup di zaman Mua yang bisa membela lautan hanya dengan tongkat. Atau hidup di zaman Yesus yang memberkati 5 roti dan 2 ikan untuk memberi makan lima ribu orang.

Jadi dipenghujung 2019 saya koq diingatkan bahwa kekuatan itu hadir karena latihan bukan datang sendirinya. Bisa jadi latihan-latihan kecil tapi konsisiten. Bersyukur juga latihan dengan menerima hal-hal sederhana yang kita pandang sebagai berkat.

Terima kasih 2019 buat waktu-waktu yang berlalu. Lalu, apa ya resolusi saya? Kamu punya ide gak? Jangan yang susah-susah lho! J




Selasa, 31 Oktober 2017

Di Akhir Oktober

Sudah lama tak menulis berarti sudah lama mengabaikan blog ini. Sepertinya diri tenggelam dalam kesibukan hari-hari yang datang silih berganti.

Dengan sedikit menguap menahan kantuk yang tak kunjung sirna setelah terlelap beberapa jam, memaksakan diri beranjak memulai hari ini. Mengingat bahwa ini adalah akhir Oktober, itu berarti pengujung 2017 sudah di depan mata. Phuifff begitu cepat ya?
 
photo credit : https://maxlucado.com/worried-enough-to-pray-2/
Tak percaya akan banyak hal yang telah terjadi. Suka dan duka dapat dijalani sampai saat ini. Banyak pencapaian juga kegagalan. Tak sedikit harap berbuah manis namun banyak juga asa menjadi kekecewa yang mengalun pilu disudut hati. Ah…itulah hidup, terus bergerak, tidak pernah capek. Lalu mengapa diri harus merasa lelah menjalani?

Sambil menghitung kalender yang sudah dilalui dan menatap 61 hari di tahun 2018 yang akan dilalui. Ah…musim berganti, bumi terus berputar, kenapa harus resah akan sesuatu yang tak terjangkau. Kenapa bibir keluh untuk bersyukur.

Meski hasrat diri masih jauh dari harap, terus melangkah seakan tak pernah akhir. Bukankah ada banyak hal yang masih perlu dikerjakan. Yakinkan diri mengayuh langkah. Bukankah hidup itu sendiri akan selalu memberikan kekuatan.


Suatu pagi di akhir Oktober 

Jumat, 28 April 2017

Satu-Satunya Harapan

Di saat jalanku tertutup
Kau ada disana memberi jalan keluar
Pahitnya sebuah kenyataan
Kau ada disana memberiku kekuatan

Kau satu-satunya harapan, satu-satunya jawaban
Tempatku percaya
Kau satu-satunya harapan, satu-satunya jawaban
KepadaMu Tuhan hatiku bersandar


Selasa, 06 Desember 2016

Finally d'Day ;)

This writing actually is forbidden to be posted here. I break the rule in this blog bcoz the only possible way is it and I’m sure someday you will look in to this blog #fingercrossed ^ _ ^

image credit @bestwishesltd


Hei…before I write many thing here, let me say congratulation to you!!!


Dec 3rd 2016 was your big day and wishing you all the best. You have chosen your path to complete your life. Enjoy the new path with your new package; wife and daughter who came from Pekanbaru ;)

Selasa, 22 November 2016

Belum Tentu Rumput Tetangga Lebih Hijau

photo credit: www.positivityblog.com

Memandang sesuatu yang dimiliki orang lain selalu lebih bagus ketimbang milik sendiri. Jadi gak salah dunk, kalau pepatah mengatakan, “rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri.” Padahal kita gak tau rumput tetangga itu benar-benar asli atau imitasi alias palsu. Bisa jadi rumput tetangga tampak lebih hijau karena si tetangga lebih rajin merawat rumputnya ketimbang kita. Yup, sering sekali kita mengeluh atau komplain akan kehidupan kita karena kita lebih sering menilai kehidupan orang lain lebih daripada hidup kita. Lebih kaya, lebih pintar, lebih mudah, lebih bahagia, lebih diberkati. Pokoknya semua lebih ketimbang hidup kita sendiri.

Sayapun begitu, memandang kehidupan teman-teman saya lebih menyenangkan daripada hidup saya. Enak ya si A sudah punya rumah. Si B yang sudah merit dengan pria yang ganteng dan juga kaya. Si C yang sudah mempunyai anak-anak yang lucu dan pintar. Si D yang hidup bahagia karena anak-anaknya sudah beranjak dewasa. Lha saya….mulai deh…mengasihani diri sendiri. Lha saya, apa enaknya? Belum merit, usia sudah tua, dan bla…bla… yang lainnya.

Psssttt…eh, ternyata hidup saya yang saya keluhkan atau yang sering saya komplain itu, di-iri-in sama teman-teman saya. Bahkan saudara-saudara saya sendiri. “Enak ya kamu, bisa jalan kemana aja tanpa harus ijin suami, ijin anak,” begitu seloroh teman saya. “Enak ya kamu kalau jalan-jalan gak mikirin beli oleh-oleh buat keluarga, buat suami, buat anak, buat mertua de-el-el.” Cetus teman yang lain. “Senengnya ya kamu, bisa beli baju, sepatu, tas, make-up semau kamu. Coba kalau aku. Kalau bulan ini sudah beli baju, maka belun berikutnya harus beli’in baju suami atau sepatu anak. Belum lagi ngurus ini itu.” Kata saudara panjang lebar. “Enaknya ya kamu kalau pulang malam gal ada yang negur. Coba aku, bisa-bisa tiap 5 menit ditelponin suami. Sudah sampai mana, sudah dimana? Duh pusing….!” Suara teman saya bercerita. Mendengr itu saya hanya senyum-senyum sambil mengeryitkan dahit. “Kamu gak tau galau dan bapernya hidup single.” Nah….nahh…mulai deh banding-bandingin lagi. Kalau sudah begitu, gak akan ada habisnya.

Kalau kita hanya bisa mengeluh, komplain terus kapan kita bisa bersyukuri apa yang sudah kita terima dalam hidup kita. Mengeluh dan komplain hanya akan membuat hati dan pikiran kita dipenuhi hal-hal negatif dan tentunya itu menjadi kebiasaan yang buruk buat kita dan orang-orang sekitar kita. Bosen kan dengerin orang mengeluh dan komplain? Bete kan, dengerin omongan negatif dari orang didekat kita.

There’s no perfect life. Everyone has burden, own problem and they struggle with themselves. Seorang ibu tidak akan memberikan dua piring makan siang jika si anak hanya mampu makan satu piring. Demikian juga kita, kita akan menerima setiap “porsi” kehidupan kita sesuai dengan kemampuan kita.

Saat ini rasanya saya diajarin untuk tidak komplain dengan apa yang ada dalam “piring” hidup saya. Yup, berhenti komplain akan membuat kita lebih mensyukuri hidup dan membuat dahi kita berkurang kerutnya. Bukankah everything happens for a purpose. Bisa jadi saya hanya mampun makan 3 suap nasi dengan sepotong tempe goreng. Kenapa saya harus maksa makan steak? Then, why don’t we enjoy everything which comes to our life with the grateful heart.


On celebrating the day of my life.

Rabu, 12 Oktober 2016

Kehilangan Momen

hoto credit: wwww.http://kameradslr.info
Saya dulu suka memotret dengan menggunakan kamera DLSR yang membawanya tidak mudah. Perlu tas khusus agar kamera tidak rusak. Untuk perjalanan jauh agak susah memang, karena barang bawaan menjadi lebih banyak. Yang semula bisa membawa 1 tas ransel dan 1 tas selempang untuk perjalanan 5-7 hari, dengan membawa DLSR, saya harus menambah 1 buah tas selempang lagi.

Sejak setahun lalu saya meninggalkan DLSR saya dan berganti dengan kamera pocket yang lebih kecil bentuknya dan tentu saja tidak secanggih kamera DLSR saya sebelumnya. Kadang dalam perjalanan saya, saya hanya cukup membawa smartphone. Bagi saya itu sudah cukup memotret segala yang ingin saya simpan dalam file-file foto digital.

Dalam suatu perjalanan, saya begitu malasnya memotret karena saya tidak mau kehilangan momen keindahan alam yang cepat berganti dihadapan saya. Saya hanya menikmati dengan mata asli saya J tidak sekedar membidik tapi juga menikmati. Saya bilang menikmati, karena dengan tidak memotret menggunakan perangkat foto saya lebih fokus menikmati setiap detik keindahan alam disekitar saya. Menyimpanya dalam otak saya. Anehnya justru sampai saat ini saya masih ingat bagaiman awan putih bergulung melintas gugusan kepulauan berbukti yang sedang gersang saat itu. Saya masih terpaku saat perahu yang saya naiki melintasi birunya air laut dengan cuaca yang cukup terik. Saya masih takjub kala mentari bergerak pelan namun pasti tenggelam diufuk barat dan memancarkan sinar keemasan yang sungguh indah.

Sekarang saya tahu, dengan DLSR saya sibuk memotret objek sampai saya lupa menikmati keindahan objek yang saya potret. Memang saya bisa menikmatinya namun tidak asli. Saya menikmatinya dalam bentik file digital yang mati.

Kadang hidup itu seperti kita memotret objek. Kita sibuk menyeting perangkat kamera kita, memfokuskan bidikan kita. Berkali-kali jepret agar menghasilkan gambar yang fokus dan bagus. Namun kita lupa menikmati objek yang kita potret.

Dalam hidup kita sibuk dengan hal-hal yang seharusnya mampu kita nikmati. Karena kita sibuk dengan hal-hal gak penting, kita jadi lupa menikmati. Seperti hidup dimasa single. Banyak orang begitu risau karena gak nikah-nikah. Sibuk merhatiin omongan orang-orang disekitar kita, sehingga kita lupa bahwa ada banyak hal di masa single yang bisa kita lakukan dan nikmati.

Contoh lain, kita pusing mikirin kenapa gaji kita gak naik-naik. Kita gak dipromosiin sama perusahaan atau bos tempat kita bekerja sehingga kita lupa meningkatkan kualitas kerja kita. Atau ada juga bingung lalu mengeluh karena usahanya sepi. Pelanggan gak dateng-dateng. Jelas aja pelanggan gak dateng-dateng karena kerjaan kita hanya mengeluh, ngomel-ngomel. Coba kita bikin promosi yang lebih dasyat, lebih keren, lebih bombatis. Ngasih paket-paket promo yang bikin orang lain tertarik sama jualan kita.

Kesibukan untuk urusan gak penting itu ibarat kita sibuk ngatur setingan kamera DLRS dan kita kehilangan momen yang indah dihadapan kita. Padahal kita sudah punya alat yang lebih alami yang dikasih Tuhan kepada kita. Mata, otak, perasaan yang bisa merekam semua kejadian itu. Dan hebatnya lagi otak kita itu seperti gulungan roll film yang bisa diputer kapanpun kita mau.

So, jangan mau diribetin sama hal-hal printilan yang membuat kita kehilangan momen, kehilangan kesempatan yang indah yang bisa nikmati. Jadi pergipun gak harus bawa DLSR kan?